Why Is IV Hydration Therapy Important?

IV hydration therapy, also known as intravenous hydration therapy, plays a significant role in maintaining optimal health and well-being. This therapy offers several key advantages that make it an…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Di antara kata.

— rasenjana by yay

⚠️ tw // phsycal abuse , degrading , harsh words , mention of slut

Sang puan berhasil melesatkan kendaraan beroda empat tersebut ke area perumahan yang mayoritasnya dihuni oleh kalangan menengah ke atas. Ini kunjungan resmi pertamanya ke rumah Rasen.

"Rumah saya di paling ujung, pagar hitam," tukasnya. Renjana mengangguk seraya mengarahkan perlahan keempat roda yang berputar seirama.

"Yang ini betul?" Perempuan yang hanya berani menoleh sedikit karena ia takut mengalami hal yang serupa dengan yang ia alami dahulu; menabrak pot milik tetangga, itu bertanya.

"Iya. Kita sudah sampai! Ayo turun!" Pria itu mengambil topi yang ia letakkan di dashboard kemudian membantu Renjana melepas seatbelt-nya.

"Makasih!" Seru perempuan itu.

Bunyi sensor pintu mobil terkunci menandakan keduanya sudah tak berada di dalam sana. Kini, pagar hitam yang menjulang tinggi itu terbuka lebar, membiarkan dua insan yang tak lagi berusia 17 itu masuk ke sana.

Rasen dengan senyum secerah matahari itu membuka pintu dan menyilakan perempuan yang tadi berjalan beriringan dengannya untuk masuk, "welcome to our house~"

Sedikit tersentak, akhirnya ia bertanya, "our?"

"Ah, maksudnya saya dan Kaluna," ucap Rasen segera memberi klarifikasi.

"Saya bercanda," kekeh Renjana, ia melepas alas kakinya selayaknya yang ia lakukan sebelum ia memasuki rumahnya. "Rumah kalian rapi sekali, saya speechless …" decak kagum terus menerus menggema sebab melihat sebuah rumah yang notabene hanya dihuni oleh lelaki dan seorang remaja tanpa asisten bisa serapi ini.

Tatanan meja ruang tamu berbahan dasar kayu kecil, dipadu apik dengan sebuah sofa panjang leter L dengan warna beige membentang tak jauh dari mini bar yang menyatu dengan pantry.

Tak mau kalah, sebuah sudut berisi foto-foto berisi kenangan tersusun begitu cantik hingga menarik atensi siapapun yang berkunjung.

"Itu Kaluna waktu bayi," celetuk pria dengan dua gelas jus di tangan membisikkan puan yang asyik melihat koleksi foto-foto di meja.

"Eh, Rasen. Maaf saya lancang." Ia lalu meletakkan kembali bingkai kayu dengan figur seorang bayi mengenakan pita merah muda dan rambut diikat dua.

"Nggak apa-apa, Renjana. Fotonya ditaruh sini memang fungsinya supaya bisa dilihat." Kecanggungan Renjana terlalu terlihat sampai-sampai Rasen ingin mencubit hidungnya kalau saja tangannya tak penuh dengan gelas jus.

"Ini minum, kita duduk di sofa yuk, kamu capek tadi habis nyetir."

Perempuan itu mengangguk, akhirnya ada distraksi agar suasana tidak canggung dan hening.

"Kaluna pulang jam berapa?" Tanya sang puan setelah mendudukkan dirinya di sebelah Rasen.

"Saya belum tau, katanya nggak akan sampai jam 10, udah janji sama saya."

"Ohh, di sini ada bahan masak?"

"Saya jarang masak, biasanya angetin masakan Mami aja. Kalau ada paling yang instan … kamu laper ya? Sebentar saya lihatin stok dulu."

"Eh, bukan!" Suara tersebut membuat Rasen menaruh penuh perhatiannya pada gerak-gerik wanita berbaju cokelat. "Buat Kaluna maksud saya."

"Ya ampun … Kalu bilang udah makan sama teman-temannya, Ren." Tadi, Kaluna menghubungi Rasen dan berkata bahwa ia akan makan bersama Dafin setelah mengelilingi Dunia Fantasi.

"Ahh, I see. Ya udah saya masak buat makan malam nanti, boleh? Buat kamu makan nanti," perempuan tersebut memberi penawaran yang tak kalah menarik setelahnya.

"Mau masak apa?" Rasen segera berjalan cepat ke arah pantry yang letaknya bisa dilihat dari ruang tamu tempat ia duduk semula.

Baru saja Renjana akan bangkit dari duduknya, pria yang sudah melepas kemeja dan menggantinya dengan kaus putih polos itu berseru.

"Di situ aja, Renjana! Saya lihatin dulu!" Serunya. Hanya suara yang terdengar, tubuh besarnya sudah tertutupi dengan kabinet yang berfungsi meletakkan bahan-bahan kering.

"Saya bantuin deh!" Teriaknya tak kalah seru.

Tak mendapat balasan, ternyata Rasen mengeluarkan semua bahan-bahan mentah siap masak ke atas kitchen island. Bawang-bawangan, roti, kentang, bumbu-bumbu bubuk berbagai merek, dan masih banyak lagi. Tidak lupa ia beranjak ke kulkas untuk melihat isinya. Dikeluarkannya daging-daging serta satu bungkus nugget mengikuti bahan-bahan yang sebelumnya sudah berkumpul ricuh di atas kabinet.

"Adanya ini!"

Renjana tertawa, ia menghampiri Rasen yang sedikit berkeringat karena mencari bahan masakan secara terburu-buru, padahal Renjana tak apa menunggu.

"Saya nggak buru-buru, Rasen … kamu sampai keringetan gini," ujar Renjana, ia mengambil tisu yang tersedia di meja pantry dan mengarahkannya ke dahi penuh peluh Rasen.

Si pria hanya bisa mematung tanpa menoleh, tempo degupan jantungnya semakin cepat tatkala melihat wajah wanita di hadapannya mengusap peluhnya sambil sedikit tertawa.

"Saya goreng nugget sama bikin ayam saus tiram aja deh ya? Kamu suka, 'kan?"

Jawaban yang diminta nihil, Rasen tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun sebab masih betah memandang wajah indah dengan pahatan hampir sempurna yang diciptakan Tuhan di hadapan dirinya.

Renjana menjentikkan jarinya guna mengembalikan kesadaran pria itu. "Hey? Rasen?"

Rasen yang menyadari lantas menggelengkan kepalanya. "Ah, iya?"

"Saya goreng nugget sama masak ayam saus tiram aja, ya?"

"I-iya. Perlu saya bantu?" Seperti tak nyata, mulutnya terbata-bata dalam mengeluarkan kata.

"Sedikit deh, saya nggak tau letak-letak alat masaknya."

Tuan pemilik rumah itu mengangguk. "Sebentar saya ambil apron biar nggak kotor."

Rasen meninggalkan Renjana untuk pergi ke sebuah ruangan kecil yang pintunya terpencil di sebelah kulkas, Renjana kira, ini adalah sebuah trik jitu untuk mengakali sebuah rumah bernuansa minimalis yang tak begitu besar.

Sekitar satu menit kemudian, ia betul-betul membawa dua buah apron berwarna hitam lengkap dengan sepasang sarung tangan plastik.

"Pakai sarung tangan?" Tanya Renjana heran.

"Buat kamu supaya nggak kotor," tukasnya disertai wajah tanpa dosa.

"Hahaha, nggak perlu! Saya nggak jijik-an kok! Lagipula sarung tangan agak bikin susah. Kalau kamu mau, kamu aja yang pake, saya mau cuci tangan!"

Rasen tertawa canggung, bagaimana bisa ia tidak menyadari bahwa Renjana adalah sosok yang bergelut di dunia dapur sejak lama? Sarung tangan dirasa kurang diperlukan karena dianggap menyulitkan.

"Maaf, saya baru sadar."

"No prob! Ayo masak!"

"Let's go!!"

Pertama-tama, wanita tersebut memotong bahan-bahan untuk membuat ayam saus tiram, sedangkan pria bertubuh kekar meletakkan nugget untuk digoreng menggunakan air fryer agar tidak terlalu berminyak nantinya.

“Rasen, wajannya di mana?” Renjana celingukan mencari di mana letak wajan untuk memasak berada.

Masih sibuk dengan susunan nugget di dalam air fryer, Rasen menoleh, “ada di kabinet atas, kemarin kayaknya Mami taruh atas.” Sebelum Renjana yang berjinjit kesulitan untuk mengambil alat memasak itu, Rasen menutup air fryer dan melangkahkan kakinya cepat guna mengambilkan alat yang diperlukan wanitanya. “Saya aja.”

Dengan cekatan, Rasen memberikan sebuah wajan yang ia ambil barusan kepada Renjana, “terima kasih!” dijawab anggukan oleh Rasendriya.

“Ini tinggal dimasukin aja ya, Renjana?” Tanya Rasen seraya menatap seluruh bahan yang sudah terpotong rapi dan tersusun di dekat kompor.

“Iya.”

“Saya yang masukin, kamu yang aduk, okay?”

“Siap, Ayah Kalu.” Entah mengapa panggilan itu sangat cocok di lidah wanita yang sedang menggulung rambutnya supaya tidak menggangu kegiatannya.

Selanjutnya, hanya dentingan dari wajan dan sodet kayu yang samar-samar terdengar di antara gelak tawa karena Ayah dari Kaluna itu menggelitik jahil tengkuk Renjana.

“HAHAHA UDAH, RASEN! HAHAHA.” Tawa bahagia seakan memberi bumbu kehangatan pada masakan hari ini, tangan Renjana yang semula memegang sodet kayu, kini beralih memukul lengan besar Rasen.

“Serius banget, sih? Saya jadinya bengong lihatin kamu doang.” lengan kekarnya mengambil alih pinggang ramping yang menganggur.

Sang puan menoleh. “Saya tau kamu laper juga sebenernya, ‘kan?”

“Iya. Tapi sambil ajak sayanya ngobrol dong,” ucapnya dengan bibir yang ditekuk ke bawah.

“Manja. Kayak anak kecil," ledek perempuan yang memutuskan melanjutkan mengaduk masakan di atas wajan itu.

“Abisnya sepi?” lagi-lagi diganggunya Renjana dengan menumpukan dagunya di pundak sang puan.

Renjana mengedikkan bahu kanan tempat dagu Rasen bertumpu, ia merasa geli karena napas Rasen yang secara tidak langsung berembus tepat di leher jenjangnya. “Jail juga lagi, udah bapak-bapak padahal.”

Pria itu lantas berdiri tegak seperti semula. “Suka-suka saya?”

Bola mata wanita itu menembak tepat di netra lelaki jahil di hadapannya, tubuhnya setengah berputar. “Jawab terus, kak Rasen?”

“Huh?”

“Kamu lebih tua dari saya.”

“Matiin dulu kompornya, itu udah mateng.” lirik Rasen pada ayam saus tiram yang sudah nampak siap saji.

Perempuan tersebut membalikkan tubuhnya lalu mematikan kompornya.

Sebetulnya, pria yang sedari tadi mengganggu Renjana memiliki sebuah planning terkait hari ini dari sekitar seminggu lalu. Ia membicarakan ini bersama Bathara di kantor, menurut dirinya, hal ini cukup menguras energinya, baik fisik maupun batin. Mungkin tak terlalu serius bagi sebagian orang, tapi menurutnya, hal ini hampir sama sakralnya dengan acara pelantikan Presiden.

Sudah saatnya sang tuan mengungkapkan sebuah rasa yang belakangan ini melingkupi dirinya tanpa ampun.

Tatapan yang mengunci satu sama lain menandakan peralihan gelak tawa menjadi keseriusan. Perlahan Rasen meraih pergelangan tangan kanan Renjana dan tangan sebelahnya meraih pinggang kecil di hadapannya. “I have something to tell you,

“Hm?” dengan tatapan bertanya-tanya, Renjana mengalungkan tangannya ke leher yang lebih tinggi. “Ada apa?”

“Sebelumnya, saya mau ngucapin banyak terima kasih dan … maaf.”

Alis perempuan itu mengerut, “untuk apa?”

“Banyak. Banyak sekali.”

“Boleh sebut salah satunya?”

Embusan napas menyita perhatian sebelum sang empunya berbicara. “Maaf karena kamu harus berhadapan sama manusia kayak saya yang masih terjebak sama masa lalu. Dan … terima kasih udah nunggu saya sampai saya yakin kalau saya bisa buka hati lagi.”

Balasannya tentu senyum manis terpatri di wajah wanita cantik itu. “Saya yang pilih. Nggak perlu minta maaf, Rasen.”

“Saya …" Rasen mengatur degup jantungnya, menetralkan gejolak yang timbul layaknya siswa yang ingin maju ke depan kelas untuk presentasi pertama kali, "sayang kamu.”

Bagai kembang api pada pesta tahun baru, hati Renjana sungguh bergetar mendengar pernyataan dari si pujaan. Yang ia damba kini tepat di depan matanya, memberi hadiah gelenyar bahagia. “Kamu tau jawaban saya ‘kan?” kekehan berlanjut setelahnya.

Dahi keduanya menempel sekarang, entah siapa yang menyatukan terlebih dahulu, tak ada yang peduli.

“Saya mau bilang Sabiyan, tapi kira-kira dimarahin nggak?” tanya sang pria lengkap dengan raut ala berpikir.

Renjana heran, tak mengerti maksud Ayah dari Kaluna itu apa, “ngapain dia marahin kamu?”

“Sayangnya saya lebih besar buat adiknya. Saya bisa dimarahin karena Sabiyan bakal kalah saing.” sial. Lagi-lagi mulutnya mampu meluluh lantahkan segala isi pikiran wanitanya.

Tangan Renjana refleks memukul lagi lengan Rasen. “Apa sih! Kayak anak remaja aja gombal begitu.”

“Pipinya biasa aja dong, cantik." Tentu pipinya bersemu merah, lama sudah ia mengendapkan pikiran tentang hal seperti ini. Dirinya sama sekali tidak menyangka kalau saja hal itu akan menjadi nyata.

Asyik dengan posisi tersebut membuat keduanya tak sadar bahwa ada sosok yang memindai dengan mata hampir terbakar, bibirnya terangkat menertawakan apa yang ia lihat tepat di depan matanya. Tepuk tangan nyaring kedengaran sampai kedua insan yang saling menatap dengan posisi cukup intim itu bergerak menjauh.

"I can't believe that you guys are doing indecent things in this house?"

Suara pria itu membalas. "Hey, hey, it's not what you see."

"You both almost kissed." Netranya bergantian menatap empat mata yang melihatnya dengan tatapan 'sebentar, kita bisa jelasin’. Namun, ia memilih tak peduli, mengabaikan tatapan memohon. "Then what? Fucked in living room?"

"Kaluna!" Gadis itu tak lain dan tak bukan ialah putri Rasen.

"Apa? Bener ya?" Kekehnya sinis.

Wanita yang merasa suasana semakin canggung dan keruh itu mencoba membuka suaranya."Kalu, aku—"

"I don't want your answer," potongnya. Perhatiannya sepenuhnya ia letakkan pada sang Ayah yang mulai gelisah.

"Kami nggak kayak apa yang kamu lihat."

"Bener, tante?" Tanya si gadis kepada wanita bernama Renjana.

"Iya, Kaluna."

"Masa sih? Udah deket banget loh itu?" Bibirnya mencebik seakan mengekspresikan kekecewaan.

"Kita makan yuk? Itu masakannya baru mateng," ujar Rasen mengalihkan pembicaraan.

"Nggak nafsu."

Kacau.

"Kita duduk." Sang Ayah memutuskan untuk membicarakan ini selagi kepalanya masih dingin.

Baru saja Rasen memberi isyarat pada wanita yang masih berdiri mematung di tempatnya, sebuah suara membuatnya menghentikan kegiatan tersebut.

"Tanpa dia." Lirik Kaluna terhadap Renjana yang masih berdiam diri di posisinya.

Suasananya betul-betul mengeruh, wanita itu merasa kehadirannya membuat air bening yang mengisi baki menjadi tak jernih lagi karenanya. Kemudian ia menarik napas dalam, memberanikan diri berniat memberi ruang untuk dua lainnya di dalam rumah tersebut dapat berbicara leluasa. Tanpanya.

"Okay. I will go. Maaf mengganggu. Selamat malam." Renjana meraih tas yang dibawanya di sofa, lalu pergi dengan sebuah senyum manis. Pria yang sudah menunggu putrinya untuk bergabung menggeleng pertanda tak setuju kalau Renjananya harus pergi sekarang.

Andai seluruh alam tahu kalau di sakunya terdapat sebuah cincin berhias berlian yang didesain khusus untuk mengikat wanita tersebut agar menjadi miliknya. Selamanya.

Hal tersebut semata-mata menjadi sebuah angan belaka. Rasen terjebak di antara kata yang tak terucap.

Kini dirinya harus berhadapan dengan realita yang mengubur semua rencana.

Hening. Sepulangnya Renjana dari kediaman Rasen karena kejadian tadi, suasana di rumah tersebut menjadi begitu sunyi, masing-masing bergelut dengan pikirannya. Hingga kalimat yang keluar dari mulut putri tersayangnya memecah kesunyian di sana, "Ayah udah lupa sama Bunda?"

Tanpa berpikir panjang pria yang sudah menjalani hidup sebagai single parent menjawab, "Ayah nggak akan pernah lupa sama Bunda, Kaluna."

Kaluna menyeringai, "di pojok padahal ada foto Bunda. Ayah hadap ke sana tadi, nggak liat? Betulan lupa?"

Diam. Rasen terdiam mendengar pertanyaan tersebut. Rencana awal, mereka akan makan bersama di meja makan dengan damai, atau mungkin dengan tawa yang menguar karena cerita seru tentang pengalaman sang putri yang baru saja kembali dari Dunia Fantasi.

"Kenapa diem, Yah? Dia ngasih apa sih buat Ayah?" gadis cantik itu menatap sang Ayah sinis. "Kalu kecewa sama Ayah."

Putri semata wayangnya angkat kaki dari ruang tamu dengan wajah frustasi. Rasen yang terpancing akhirnya buka suara dengan tangan terkepal.

"12 tahun," ucapnya. Kaluna yang sudah menginjakkan kakinya persis di depan pintu kamarnya menoleh.

"12 tahun Ayah nggak pernah merasa seperti ini. Ayah cuma fokus di Kalu, kerja, repeat. Begitu terus selama 12 tahun terakhir, apa Ayah nggak boleh jatuh cinta lagi?" Wajahnya meremang, mengingat sejuta kesempatan yang ia abaikan sebab masih terngiang wajah bidadarinya yang sudah bersemayam tenang bersama Sang Pencipta.

"Mana katanya fokus ke Kalu, Yah? Hidup Ayah cuma kerja, kerja, kerja. Kalu selalu dititip ke Nenek dan Kakek, Om Jojo, sesekali ke Om Tara. Ayah selalu sibuk sama dunianya Ayah," hardik gadis dengan rambut dikuncir kuda.

"Ayah kerja buat kamu juga, Kaluna. Buat kebutuhan kamu."

Sebuah senyum penuh arti menjadi awalan sebelum ungkapan terpendamnya terlontar begitu saja. "Aku cuma butuh Ayah. Aku cuma butuh Ayah dateng buat terima rapor, atau se-sederhana jemput aku sekolah. Kalu nggak munafik kalau Kalu butuh uang, tapi Kalu cuma pengen Ayah ada di samping Kalu kayak temen-temen yang lain."

Runtuh. Pertahanannya runtuh. Princess-nya tak salah. Seratus persen rentetan kalimat yang terlontar dari bibirnya benar adanya.

"Diem ‘kan? Yah, tante Jana mungkin sama kayak wanita-wanita di luar sana yang cuma ngincer uang, lalu pergi."

“Beda, princess.”

Kaluna berdecih. "Ngebela terus. Dipikir aku nggak pernah tau kalau Ayah sering dihubungin cewek-cewek nggak jelas?"

"Itu bukan tante Jana. Dia nggak ada diantara cewek-cewek attention seeker itu, Kaluna." Iya, memang rasanya tidak mungkin kalau orang seperti Rasen tidak ada yang mengincar. Beberapa diantaranya bahkan melakukan hal bodoh demi menarik perhatian pria ber-lesung pipi tersebut.

"Ayah terlalu mau dibodoh-bodohi. Perempuan yang kenal sama Ayah semuanya attention seeker, cuma cari perhatian, habis itu minta harta Ayah. Pergi deh~" jemari Kaluna menirukan orang yang berjalan, seolah itu adalah para wanita haus perhatian yang selama ini datang kepada sang Ayah.

"Selama ini kamu pernah lihat tante Jana minta sesuatu sama Ayah?" Rasen terus mencoba mengulik segala tentang Renjana yang kemungkinan besar tidak cocok dengan asumsi putrinya.

"Nope. But you give all of you. Semuanya, dari mulai harta, sampai waktu."

Waktu. Kata sederhana, namun presensinya saat diucapkan mampu membubarkan segala isi kepala.

"Ayah juga bagi waktu buat kamu, buat keluarga."

Lagi dan lagi, tawa sarkas menggelegar. "Bilang meeting padahal lagi lunch bareng itu namanya bagi waktu ya?"

Gagu. Ia mengingat kejadian itu. Sungguh dirinya tak bermaksud. "Kasihan tante Jana nggak ada yang temanin makan siang."

"See? Ayah nggak kasihan sama aku yang nunggu di tempat les sendirian?" Sungguh, ia tak tahu harus menjawab apa. Ini betul-betul seratus persen kesalahannya.

"Aduh, Yah … besok-besok nggak usah deh sama perempuan kayak gitu. Disogok lunch hampir setiap hari aja luluh, mau aja lagi badannya hampir dipakai di rumah yang ditinggalin sama anaknya. Such a slut behaviour, is she?"

Plak!

Satu tamparan mendarat hingga pipi gembil itu memerah. Sebuah jelaga penuh amarah mengambil alih jiwa gadis tersebut. Ia tidak berkutik, melihat wajah Rasen yang tak kalah merahnya karena pembahasan sensitif barusan. Ayahnya murka.

"Ayah nggak pernah ajarin kamu ngomong kayak gitu! Dapat bahasa dari mana kamu?!"

"Tante Jana selama ini baik sekali sama kamu, ternyata kamu begini. Kalau nggak suka, bilang dari awal, Kaluna Arutala." Sudah. Emosinya resmi menjalar menguasai pria bertubuh kekar.

Kaluna dengan senyum getir menimpali. "Dia baik. Baik banget. Awalnya Kalu juga seneng dia bisa bikin Ayah ketawa lagi. Tapi lama kelamaan dia bikin segalanya berpindah ke dia. Poros bumi semua orang pindah ke dia. Sorot lampu buat aku lama-lama redup, Yah."

"Om Jojo bilang ke aku supaya lihat kedepannya, apa asumsi aku benar? Berulang kali om Jo bilang gitu. Aku dengerin sampai muak, sampai om Jo perlahan ikut bela dia karena dia baik, dia buat Ayah mau ketawa lepas."

"Nenek juga. Semenjak lihat Ayah yang selalu senyum setiap hari dan tau siapa penyebabnya, yang ditanya selalu kapan perempuan itu main ke rumah Nenek. Capek, Yah. Aku juga anaknya Ayah, aku juga butuh perhatian."

"Kaluna …" Kalimatnya tak dapat terangkai, semua hanya tersangkut di tenggorokan. Lidahnya sudah tak mampu menganyam kata demi kata. Hatinya milyaran kali mengucap maaf tanpa henti.

"Mau bela dia lagi? Silakan. Tapi maaf, telinga Kalu tuli buat denger itu."

Tanpa pamit, gadis itu berlari cepat untuk mengangkat kaki se-segera mungkin dari tempat yang ia sebut rumah. Air mata yang sebelumnya tertahan, terjun begitu deras dari pelupuk matanya, menyisakan sosok pria yang masih terpaku seraya menatap kosong telapak tangan dengan tatapan penuh penyesalan.

Dengan tangan gemetar, ia menelepon seseorang.

"Putar balik. Jemput aku."

Add a comment

Related posts:

What is an ultrasound?

This is a medical test that uses high-frequency sound waves to take live pictures from inside your body. This is also known as an ultrasound. The technology is similar to that used by sonar and…

Saya Biarkan Kamu Bahagia

Dari beberapa sosial media yang kamu punya, rasanya hidupmu bahagia. Berbeda saat masih dengan saya yang sejatinya menaruh harapan besar untuk terus bersama. Tapi apa daya? Semua kalah dengan jarak…

The Dark Side Of The Beautiful Game

Football is regarded by billions of people across the world as the beautiful game. It transcends everything, from race to religion and it brings people and communities together to enjoy and create…